Fathur Rahman
(Gapura Sang Maha
Pengasih )
SYARAH
RISALAH RUSLANIYYAH
II
oleh
Gusti Pemimpin
Syekhnya Para Syekh Islam dan Para Muslim
Penghias Agama Abu Yahya Zakaria Al-Anshori Al-Syafi’i
Diterjemahkan:
Prof. DR. Ali Maksum
Muhamad Mukhtar Zaedin
Pembaca Ahli:
DR. KH. Akhsin Sakho Muhammad
Editor:
Drh. RH. Bambang Irianto, BA.
Kerjasama Institut Agama Islam Negeri
Syekh Nurjati Cirebon
Pusat Konservasi dan
Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih
dan Penyayang.
Kepada
Allah memohon pertolongan.
Berkata
Gusti Pemimpin Syekhnya Para Syekh Islam dan Para Muslim Penghias Agama Abu
Yahya Zakaria Al-Anshori Al-Syafi’i, semoga Allah Ta’ala melapangkan
kematiannya dan semoga mengembalikan kepada kami dari pertolongannya di dunia
dan akhirat. Ya (Allah, limpahkan keselamatan dan keberkahan kepada Junjungan
Kita Nabi) Muhammad, keluarga, dan sahabatnya semua. Amin.
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Segala Puji bagi dzat yang sendirian
dengan sifat wahdaniyah (mandiri),
dan menjadi mulia dengan sifat-sifat ketuhanan. Sholawat dan salam semoga atas Nabi saw,
keluarga, sahabat, dan pasukannya.
Adapun setelahnya (baca basmalah, hamdalah,
dan sholawat), maka sesungguhnya ilmu tauhid itu ilmu sangat mulia,
bahkan termulaia. Sebagian dari tulisan yang yang memuat tentangnya yaitu Risalah Ruslaniyah karangan Al-Imam
Al-Arif Billah Ruslan Al-Dimasqi, semoga Allah Ta’ala harumkan jalan pilihannya
dan semoga Allah Ta’ala jadikan sorga sebagai tempat tinggalnya. Ketika adanya Risalah Ruslan sebagi kitab (yang menjelaskan tentang) Allah Ta’ala
itu terbaik di dalam Ilmu Tauhid yang pernah disusun, dan disusun lebih lengkap
pemahasanya atas perkiraan keutamaan keduannya. Aku memohon petunjuk (istikhoroh) kepada Allah Ta’ala agar aku bias memberi komentar (syarah) pada Risalah Ruslan dengan komentar yang dapat mengurai lafa-lafalnya
dan menjelaskan maksudnya dan aku beri nama Fathur
Rohman (Gapura Sang Maha Pengasih ) Komentar
Risalah Wali Ruslan.
Ketahuilah bahwahasanya Ilmu Tauhid
itu diwajibkan. Allah Ta’ala berfirman: “,,,Maka ketahuilah,
bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah,,,[1]”. Firman Allah Ta’ala itu mewajibkan bagi ketiadaan syirik. Syirik
itu dua macam; dhohir, jelas, dan
Imam Al-Ghozli dan lainnya telah menjelaskan syirik serta membaginya. Dan bathin, samar, yaitu Sesutu yang
telah dikuasai oleh nafsu dari (hlm. 1)
keberadaan sehingga hati terhalang olehnya dari menemukan pertolongan dari Alam
Gaib (Ilmu Allah). Maka hati menjadi syirik samar karena jauh dari Hadirat Suci
(Keberadaan Allah) dengan bukti-bukti rasa (al-his) yang ada. Mualif telah
menyebutnya dengan ungkapan: Keseluruhanmu
wahai hamba! Dalam dzat, sifat, dan perbuatan itu syirik yang samar. Jalan keluar syirik itu hayalan (wahm) dan angan-angan. Angan-angan dan
hayalan itu menetapi selain Allah Ta’ala seperti martabat dan makom yang cepat
sirna. Ketika yang lain Allah (al-ghoir)
telah lenyap darimu, maka jelas dengan Ilmu Ilahi tauhidmu yang menghilangkan
kedua syirik tersebut (Syirik Dhohir dan Bathin) yang mengikati hayalan dan
lamunan.
Dan tidak akan menjadi jelas,
maksudnya tampak, olehmu tauhidmu
kecuali ketika kamu keluar, yaitu kamu fana,
dari dirimu dan selain Allah Ta’ala
(al-aghyar), bahwa kamu melihat
semuanya itu dari Allah Ta’ala. “Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu[2]". Hubungan amalmu denganmu adalah hubungan pekerjaan,
dan hubungan amalmu kepada Allah Ta’ala adalah hubungan penciptaan. Allah
Ta’ala yang mencipta dan kamu yang mengerjakan agar kamu diberi pahala atau
siksa.
Dan semasa kamu dapat melepaskanmu dengan
cara keluar dari syirik itu akan terbuka
bagimu bahwa sesungguhnya DIA ta’ala
adalah DIA Yang Maha Mencipta segala alam wuud bukan dirimu. maka kamu akan memohon ampunan darimu.
Ketika kamu tidak menyaksikan (syuhud)
selain Allah Ta’ala, niscaya kamu sebagai muwahhid
(petauhid) sejati. Penyaksian (syuhud)
ini terkadang berlangsung lama, hal itu jarang terjadi, dan terkadang adanya laksana sambaran kilat
(secepat kilat)[3].
Saat hal itu terbuka bagimu kamu akan tahu bahwahasanya penampakanmu terhadapmu
(melihat diri sendiri) adalah dosa. Kemudian kamu meminta ampnan darimu, yakni
dari penampakanmu terhadapmu dengan melepaskan diri dari itu (syuhud pada diri sendiri) terlihat nyata
bagimu Ilmu Tauhid, Tauhid Dzati, Tauhid Sifati, dan Tauhid Fi’li. Saat kamu temukan satu dari ketiganya, niscaya syirik nyata bagimu dalam
kebalikannya dari sesuatu yang berhubungan dengan makhluk, yaitu Makom Faroq (pisah),
lalu kamu temukan pada setiap saat dan waktu,
bahkan dalam setiap nafas, tauhid,
bahwahasanya Allah Ta’ala Maha Pencipta segala alam wujud, dan iman, yakni membenarkan dengan itu hingga sempurna yakinmu. Dan
ketika kamu naik (taroqi) dari Makom
Faroq pada Makom Jama (kumpul) bertambahlah tauhid dan imanmu sebagaimana Syekh
Ruslan berkata: Dan sewaktu kamu,
dirimu, keluar darinya (minhu), yakni dari pandanganmu terhadap tauhidmu
dan dalam (hlm. 2) naskah yang lain
disebutkan: minhum, yakni dari semua
makhluk, maka bertambah imanmu. Yakni
pembenaranmu dalam Makom Kasyaf dan
Nyata. Karena keluar dari salah satu yang berlawanan keduanya itu adalah masuk
pada yang lainnya.
Sewaktu kamu keluar dari dirimu, niscaya
bertambah imanmu, dalam naskah yang lain: kuatlah imanmu, dengan Sifat Wahdaniyah. Karena persoalan dalam
dirimu adalah dosa yang keluar darinya dalam selain kamu. Ini (keluar dari diri
sendiri) adalah martabat Para Shidik, dan martabat yang pertama adalah khusus
Para Mukmin. Yakin adalah ilmu setelah keraguan. Karena alasan ini Ilmu Qodim
(Ilmu Allah) dan Ilmu Pasti (Ilmu Dhorori) tidak dikelompokan dengan Yakin
(Ilmu Yakin). Akan tetapi yang dimaksud
dengan Yakin (Ilmu Yakin) diatas adalah apa yang telah disebutkan oleh Syekh
Ruslan barusan. Terkadang yang dimaksudkan adalah Ilmu secara umum.
Perbedaannya tidak serupa pada lingkaran (taqoyyudl?)
pendefinisian.
Ketahuilah!
Bahahasanya keluarmu darimu kumpul dan bertambahnya manmu adalah ujung Jama’
(kumpul) denagnnya (wahdaniyah?) agar
Maha Benar (al-haq) menguasaimu. Hal
itulah yang dimaksud dengan hadis: “aku
adalah pendengaranya yang dia dapat mendengar dengannya, penglihatanya yang dia
dapat melihat dengannya” [4].
Dan siapa yang tidak dapat memperolehnya (wahdaniyah?i),
niscaya keyakinannya tidak sempurna. Dan dia terbujuk berhenti pada
ibadahnya dan pandangannya terhadap Makomat (makom-makom) dan Mukasyafat
(keterbukaan gaib), tertawan oleh semua itu karena kecintaanya pada hal itu
(Makomat dan Mukasyafat) sebagaimana Syekh Ruslan memberi isyarat pada hal itu
(cinta Makom dan Kasyaf) dengan ungkapanya:
Wahai tahanan nafsu-syahwat dan ibadat! Wahai
tahanan makomat dan mukasyafat! Kamu tertipu dalam
sesuatu yang telah dijatuhkan (diciptakan) oleh angan dan hayalan, kamu sibuk, dalam naskah yang lain: disibukan, dengan dirimu (sehingga jauh)
dari-NYA Yang Maha Tinggi. Dimana
kamu sibuk dengan-NYA (dan) jauh dari dirimu serta keadaanmu (sebagai)
tawanan selain Allah Ta’ala? Setiap orang yang mencintai sesuatu maka dia
adalah tawanannya, dalam dekat, terhenti bersama nafsu-syahwat. Ini adalah
keadaan sikap para pelupa. Banyak orang terhenti bersama ibadah. Ini adalah
keadaan sikap sebagian para ahli muamalah (Ahli Amal). Banyak orang yang
terhenti bersama makom. Ini adalah keadaan sikap sebagian Ahli (hlm. 3) Irodah. Banyak orang terhenti
bersama Kasyaf (terbukanya Ilmu Gaib). Ini adalah keadaan sikap Ahli Taraki
(naik). Banyak orang terhenti besama Allah Ta’ala, tenggelam dengan-NYA, jauh
dari selain-NYA. Ini adalah keadaan sikap Ahli Inayat (Ahli Pertolongan Allah).
Dan DIA, dan dalam naskah yang lain:
DIA (tanpa dan), Yang Maha Mulia dan
Agung (senantiasa) hadir bersama kita dengan ilmu-NYA, dan melihat kepada kita dengan hukum-NYA. DIA bersama kamu semua dengan ilmu, kuasa, dan pertolongan-NYA, dimanapun kamu berada di dunia dan akhirat.
Ketika kamu mengenal-NYA seperti itu, niscaya kamu mengerti bahwahasanya DIA
bersamamu dalam sirmu (samarmu) dan
jelasmu (‘alan / bersama yang lain).
Maka jadilah kamu, dirimu, bersama-NYA dengan ketenggelamanmu dalam Tauhid. Karena
sesungguhnya dirimu ketika ada
bersama-NYA seperti itu (tenggelam dalam samudera Tauhid), niscaya Allah Ta’ala mendindingimu dari
(nafsu) mu. Yakni menjauhkanmu dari penglihatanmu terhadap nafsumu. Lalu
kamu terselamatkan dari syirik samar syirik Khofi). Keadaan ini dinamakan fana (sirna / hilang) dalam Tauhid dan
juga dinamakan halatul jam’i (al-jama / kumpul bersama Allah Ta’ala).
Ketika kamu bersama (dirimu) mu karena
ketidak tengelamanmu (dalam samudera tauhid), niscaya Allah Ta’ala perhamba kamu bagi-NYA. Yakni Allah Ta’ala
jadikan kamu penyembah-NYA, lalu Allah Ta’ala mewajibkanmu beribadah pada-NYA.
Inilah keadaan sikap al-faroq (pisah)
sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, dan dalam keadaan itu hamba
dikembalikan kepada peribadatan-NYA dan kewajiban lainnya.
Iman yang sempurna itu keluarmu dari-NYA Ta’ala dengan gambaran bahwa kamu tidak
bersekutu dalam sesutupun dari sifat-sifat yang terkhusus bagi-NYA. Dan yakin itu keluarmu dari (diri) mu, yakni
reka, daya, dan wujudmu dalam kediaman kelemahan dan kekalahanmu. Ketika keimananmu bertambah dengan
keluar dari aghyar (selain Allah
Ta’ala) maka kamu berpindah dari satu
keadaan kepada keadaan lain. Yaitu dari kelemahan kepada kekuatan hingga
sempurna keimananmu. Ia adalah yakin, dan ketika yakinmu sempurna maka yang
samar (ghuyub) menjadi jelas bagimu
lalu menghasilkan Iman Sempurna.
Ketika bertambah, dalam
naskah yang lain: menguat, imanmu dengan
keluarmu darimu dan dari segala yang selain Allah Ta’ala (aghyar), niscaya kamu
berpindah dari satu makom kepada makom lain, yakni dari Makrifat (kenal) kepada
Kasyaf (terbuka), dari Kasyaf (terbuka) kepada Musyahadat (nyata), dari
Musyahadat (nyata) kepada Muayanat (jelas), dari Muayanat (jelas) kepada
Itishol (tertaut), dari Itishol (tertaut) kepada Fana (sirna), (hlm. 4) dari Fana (sirna) kepada Baka
(abadi), dan makom-makom lain yang (hanya) dikenal oleh ahlinya.
Dan ketahuilah bahwahasanya syari’at itu bagi
mereka, yaitu seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala, tarekat, yaitu kamu menuju padanya dengan
ilmu dan amal, dan hakikat, yaitu
intisari dari keduanya (syariat dan hakikat), yakni kamu menyaksikan-NYA dengan
cahaya yang telah Allah Ta’ala lilmpahkan dalam relung hati. Dan sesungguhnya
bagi setiap batin punya dohir baginya dan sebaliknya (setiap dohir punya batin).
Syari’at adalah dohir hakikat. Hakikat adalah batin syari’at. Syari’at dan
hakikat itu bertautan makna. Syai’at tanpa hakikat itu hampa. Hakikat tanpa
syari’at itu batal. Perumpamaan ketiganya bagaikan Pala (Kelapa). Maka syari’at
itu seperti kulit yang tampak. Tarekat itu seperti isi yang sama tertutup kulit.
Hakikat itu laksana minyak yang berada didalam isi. Seseorang tidak akan
mendapatkan (samapai) isi sebelum mengoyak (menyobek)kulit. Tidak sampai kepada
minyak sebelum melumatkan isi.
Makhluk
(manusia) itu terbagi tiga kategaori; lemah, sehat, dan kuat. Yaitu awam
(umum), yaitu para mukmin, khowas (khusus), yaitu para wali, dan khowasul
khowas (sangat khusus), yaitu para nabi, bagi mereka sholawat dan salam Allah
Ta’ala. Dan Syekh Ruslan meruntutkanya dengan ungkapannya: Syari’at, dalam naskah yang lain: Maka syari’at itu untukmu wahai para lemah hingga kamu mencari-NYA ta’ala dari-NYA
untukmu dengan cara kamu mencari-NYA dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.
Jika tidak, maka syari’at itu atasmu bukan untukmu. Hakikat itu bagi-NYA ta’ala hingga
kamu mencari-NYA ta’ala dengan-NYA
untuk-NYA azza wajalla, bukan denganmu untuk-NYA dan bukan dengan-NYA
untukmu. Sehingga tak terwaktu, dalam
naskah yang lain: tak terbatas, dan
bukan dimana (tak bertempat). Maka
syari’at karena adanya itu perintah dengan amal-amal yang baku baginya itu punya batasan, sebagaimana sholat dua rakaat atau tiga, dan arah, seperti adanya sholat itu
fardlu, sunah, terwaktu, atau tanpa waktu. Hakikat
itu tak terbatas dan tidak ada arah baginya, karena hakikat itu ‘tirai
maknawi’ dan karena yang mendirikannya adalah orang yang mengerti Allah (al-‘arif billahi) yang telah melewati
batas-batas (bagian-bagian) kemanusiaan. Karena dia berada dalam Makom Jama
(Makom Bersama Allah), dan dia selamanya mencari mencari Allah dengan Allah
untuk Allah. Maka yang dicariya tak
terbatas karennya (tak terbatas itu adalah) hak Maha Disembah dan (hlm. 5) yang dicari oleh ‘pendiri
syari’at’ (para kaum syari’at / orang
yang menjalankan syari’at) itu terbatas.
Orang yang berdiri dengan syari’at, dalam
naskah yang lain: beserta syari’at,
saja, yakni tanpa hakikat, Allah
Ta’ala berikan kelebihan padanya dengan Mujahadah (bersungguh-sungguh), yaitu
menjalankan ibadah dohir dan dengan ubudiyah
bathin. Ibadah itu untuk raga karena ibadah dohir adanya, dan ubudiyah itu untuk hati karena batin
adanya.
Orang yang berdiri dengan hakikat, dalam
naskah yang lain: beserta hakikat, Allah
Ta’ala berikan kelebihan padanya dengan pemberian, yakni nikmat, atau
nikmat yang berat menurut pendapat lain. Yang dimaksud dengan nikmat itu adalah
Ilmu Laduni Nurani yang telah Allah Ta’ala ajarkan pada awah sewaktu (dahulu
kala di Zaman Azali) Allah Ta’ala menanyai mereka denga Firman-NYA: “Apakah aku
bukan Tuhanmu?”[5]
dan apa yang telah diisyaratkan dalam Firman-NYA: “Allah telah mengajarkan
kepada Adam semua nama-nama” hanya saja hal itu terjadi di Alam Arwah (yang
kemudian) tertutup dengan) gegelapan Alam Wujud (setelah lahir ke dunia), dan
tersibukan dengan perwatakan. Ketika kegelapan itu hilang dengan pertolongan Allah
Ta’ala, niscaya Ilmu Laduni itu nampak kembali. Hal itu adalah maksud dari
hadis: “Siapa yang beramal dengan ilmunya, niscaya Allah Ta’ala mewarikan
padanya ilmu yang belum pernah dia pelajari” dengan membuka (kasyaf) dari hatinya tutup (kegelapan)
itu. Lalu dia berpaling dari seluruh makhluk hingga surga (tak diminatinay).
Orang ini (Ahli Hakikat) mendirikan hak-hak rububiyah,
dan orang itu (Ahli Syari’at dan Tarekat) denagn hak-hak ibadah dan ubuduyah.
Sangat
jauh perbedaan antara Mujahadah (bersungguh-sungguh)
dan Minah (limpahan anugerah). Sangat
jauh perbedaan antara orang yang dibukakan (futuh)
dengan Mujahadah tanpa kasyaf (terkuak) dan syuhud (nyata) dalam Mahal Faroq (tempat perpisahan dengan Allah
Ta’ala), dan orang yang dikuakan (kasyaf)
dari sir ilahiyah (Rasa Ketuhanan).
Maka dia syuhud (menyaksikan) makna Jama (kebersamaan dengan Allah Ta’ala)
dengan sangat lekat. Kedua makom Faroq
(berpisah) dan Jama (bersama) itu di
tuntut dan di cari. Hanya saja, semberono dari makom awal adalah sunyi dari
makom kedua adalah terpedaya dan rusak, sebagaimana yang telah dijelaskan
(diisyaratkan) tentang kedua makom tersebut. (hlm. 6)
Orang yang
berdiri beserta Mujahadah karena dia
melihat amal syari’atnya itu ada dengan
(pertolongan) Allah Ta’ala, orang yang berdiri beserta beserta Minah (limpahan anugerah) karenanya
mendirikan hak-hak rububiyah (Ketuhanan),
tidak melihat amal perbuatanya, itu
sirna dari selain Allah Ta’ala karena kefanaanya
dengan tenggelam dengan Allah Ta’ala.
Amal-amal yang
berhubungan dengan kesempurnaan dzat hamba yang lahiriyah seperti Dua Kalimah
Syahadat, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Romadhon, haji, dan jihad itu berhubungan dengan (hokum) syara yang
mulia, karena Syara (agama) datang
dengan ketetapan (syari’at) itu. Tawakal
dan sejenisnya dar sesuatu yang berhubungan dengan kesempurnaan dzat batin
seperti Zuhud (benci dunia), wara’ (teliti dunia), sabar, khauf (takut siksa), dan roja (berhrap pada Allah) itu berhubungan dengan iman bahwahasanya
Allah Ta’ala Maha Pencipta segala yang dikehendaki-NYA. Tawakal itu berpegang
teguh pada Allah Ta’ala dan memutuskan pandangan terhadap segala sebab beserta ketersediaannya.
Ada pendapat:
Tawakal itu meninggalkan usaha yang biasa dijalankan oleh kekuatan manusia.
Pendapat itu dibantah: Tawakal itu bukan begitu, seperti yang telah aku
jelaskan, berikut kaidah-kaidahnya, dalam Syarah
Risalah Syekh Abu Qosim Al-Qusyairi .
Tauhid yaitu
ketetapan dan pengetahuanmu terhadap sifat Wahdaniyah Allah Ta’ala itu berhubungan dengan Kasyaf (tebuka). Yakni Allah Ta’ala membuka penutup matahati
hamba dari tutup hakikat penghalang alam wujud (kainat) dengan sirna dari semuanya dan melihatnya masuk tergulung
dalam ‘cahaya agung ketuhanan’ (nur
adhomah robaniyah). Kasyaf itu
ada tiga macam; Kasyaf Nafsi (teruka
diri), Kasyaf Qolbi (terbuka hati), dan Kasyaf Siri (terbuka rasa). Pembagian kasyaf itulah yang dimaksud dengan ungkapan Syekh Ruslan. Beliau
menyebutkan bagian pertama dengan sebutan Ilmul
Yaqin, bagian kedua dengan sebutan Ainal
Yaqin, dan bagian ketiga dengan sebutan Haul
Haul Yaqin. Ketiganya adalah ilmu karena ketiganya bagian dari ilmu, karena
ilmu beriktibar (melihat) apa yang diketahuinya. Jika berhubungan dengan dzat
lahir maka (dinamakan) Ilmul Yakin, dengan dzat batin maka Ainal Yakin, atau dengan
Hak Ta’ala (Allah Ta’ala) maka Hakul (hlm.
7) Yakin. (bersambung II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar