Sabtu, 11 Februari 2012

Fathur Rohman Syarah Risalah Ruslaniyah Ke II


Fathur Rahman
(Gapura Sang Maha Pengasih )
SYARAH RISALAH RUSLANIYYAH
II

oleh
Gusti Pemimpin Syekhnya Para Syekh Islam dan Para Muslim Penghias Agama Abu Yahya Zakaria Al-Anshori Al-Syafi’i

Diterjemahkan:
Prof.  DR. Ali Maksum
Muhamad Mukhtar Zaedin

Pembaca Ahli:
DR. KH. Akhsin Sakho Muhammad

Editor:
Drh. RH. Bambang Irianto, BA.

Kerjasama Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon
Pusat Konservasi dan Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Kepada Allah memohon pertolongan.
Berkata Gusti Pemimpin Syekhnya Para Syekh Islam dan Para Muslim Penghias Agama Abu Yahya Zakaria Al-Anshori Al-Syafi’i, semoga Allah Ta’ala melapangkan kematiannya dan semoga mengembalikan kepada kami dari pertolongannya di dunia dan akhirat. Ya (Allah, limpahkan keselamatan dan keberkahan kepada Junjungan Kita Nabi) Muhammad, keluarga, dan sahabatnya semua.  Amin.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Segala Puji bagi dzat yang sendirian dengan sifat wahdaniyah (mandiri), dan menjadi mulia dengan sifat-sifat ketuhanan.  Sholawat dan salam semoga atas Nabi saw, keluarga, sahabat, dan pasukannya. 
Adapun setelahnya (baca basmalah, hamdalah, dan sholawat), maka sesungguhnya ilmu tauhid itu ilmu sangat mulia, bahkan termulaia. Sebagian dari tulisan yang yang memuat tentangnya yaitu Risalah Ruslaniyah karangan Al-Imam Al-Arif Billah Ruslan Al-Dimasqi, semoga Allah Ta’ala harumkan jalan pilihannya dan semoga Allah Ta’ala jadikan sorga sebagai tempat tinggalnya.   Ketika adanya Risalah Ruslan sebagi kitab (yang menjelaskan tentang) Allah Ta’ala itu terbaik di dalam Ilmu Tauhid yang pernah disusun, dan disusun lebih lengkap pemahasanya atas perkiraan keutamaan keduannya.  Aku memohon petunjuk (istikhoroh) kepada Allah Ta’ala agar aku bias memberi komentar (syarah) pada Risalah Ruslan dengan komentar yang dapat mengurai lafa-lafalnya dan menjelaskan maksudnya dan aku beri nama Fathur Rohman (Gapura Sang Maha Pengasih ) Komentar Risalah Wali Ruslan.  
Ketahuilah bahwahasanya Ilmu Tauhid itu diwajibkan. Allah Ta’ala berfirman: “,,,Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah,,,[1]. Firman Allah Ta’ala itu mewajibkan bagi ketiadaan syirik.  Syirik itu dua macam; dhohir, jelas, dan Imam Al-Ghozli dan lainnya telah menjelaskan syirik serta membaginya. Dan bathin, samar, yaitu Sesutu yang telah dikuasai oleh nafsu dari (hlm. 1) keberadaan sehingga hati terhalang olehnya dari menemukan pertolongan dari Alam Gaib (Ilmu Allah). Maka hati menjadi syirik samar karena jauh dari Hadirat Suci (Keberadaan Allah) dengan bukti-bukti rasa (al-his) yang ada. Mualif telah menyebutnya dengan ungkapan: Keseluruhanmu wahai hamba! Dalam dzat, sifat, dan perbuatan itu syirik yang samar. Jalan keluar syirik itu hayalan (wahm) dan angan-angan. Angan-angan dan hayalan itu menetapi selain Allah Ta’ala seperti martabat dan makom yang cepat sirna. Ketika yang lain Allah (al-ghoir) telah lenyap darimu, maka jelas dengan Ilmu Ilahi tauhidmu yang menghilangkan kedua syirik tersebut (Syirik Dhohir dan Bathin) yang mengikati hayalan dan lamunan.  
Dan tidak akan menjadi jelas, maksudnya tampak, olehmu tauhidmu kecuali ketika kamu keluar, yaitu kamu fana, dari dirimu dan selain Allah Ta’ala (al-aghyar), bahwa kamu melihat semuanya itu dari Allah Ta’ala. “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu[2]". Hubungan amalmu denganmu adalah hubungan pekerjaan, dan hubungan amalmu kepada Allah Ta’ala adalah hubungan penciptaan. Allah Ta’ala yang mencipta dan kamu yang mengerjakan agar kamu diberi pahala atau siksa.
Dan semasa kamu dapat melepaskanmu dengan cara keluar dari syirik itu akan terbuka bagimu bahwa sesungguhnya DIA ta’ala adalah DIA Yang Maha Mencipta segala alam wuud bukan dirimu.  maka kamu akan memohon ampunan darimu. Ketika kamu tidak menyaksikan (syuhud) selain Allah Ta’ala, niscaya kamu sebagai muwahhid (petauhid) sejati. Penyaksian (syuhud) ini terkadang berlangsung lama, hal itu jarang terjadi,  dan terkadang adanya laksana sambaran kilat (secepat kilat)[3]. Saat hal itu terbuka bagimu kamu akan tahu bahwahasanya penampakanmu terhadapmu (melihat diri sendiri) adalah dosa.  Kemudian kamu meminta ampnan darimu, yakni dari penampakanmu terhadapmu dengan melepaskan diri dari itu (syuhud pada diri sendiri) terlihat nyata bagimu Ilmu Tauhid, Tauhid Dzati, Tauhid Sifati, dan Tauhid Fi’li. Saat kamu temukan satu dari ketiganya, niscaya syirik nyata bagimu dalam kebalikannya dari sesuatu yang berhubungan dengan makhluk, yaitu Makom Faroq (pisah), lalu kamu temukan pada setiap saat dan waktu, bahkan dalam setiap nafas, tauhid, bahwahasanya Allah Ta’ala Maha Pencipta segala alam wujud, dan iman, yakni membenarkan dengan itu hingga sempurna yakinmu. Dan ketika kamu naik (taroqi) dari Makom Faroq pada Makom Jama (kumpul) bertambahlah tauhid dan imanmu sebagaimana Syekh Ruslan berkata: Dan sewaktu kamu, dirimu, keluar darinya (minhu), yakni dari pandanganmu terhadap tauhidmu dan dalam (hlm. 2) naskah yang lain disebutkan: minhum, yakni dari semua makhluk, maka bertambah imanmu. Yakni  pembenaranmu dalam Makom Kasyaf dan Nyata. Karena keluar dari salah satu yang berlawanan keduanya itu adalah masuk pada yang lainnya.
Sewaktu kamu keluar dari dirimu, niscaya bertambah imanmu, dalam naskah yang lain: kuatlah imanmu, dengan Sifat Wahdaniyah. Karena persoalan dalam dirimu adalah dosa yang keluar darinya dalam selain kamu. Ini (keluar dari diri sendiri) adalah martabat Para Shidik, dan martabat yang pertama adalah khusus Para Mukmin. Yakin adalah ilmu setelah keraguan. Karena alasan ini Ilmu Qodim (Ilmu Allah) dan Ilmu Pasti (Ilmu Dhorori) tidak dikelompokan dengan Yakin (Ilmu Yakin).  Akan tetapi yang dimaksud dengan Yakin (Ilmu Yakin) diatas adalah apa yang telah disebutkan oleh Syekh Ruslan barusan. Terkadang yang dimaksudkan adalah Ilmu secara umum. Perbedaannya tidak serupa pada lingkaran (taqoyyudl?) pendefinisian.
Ketahuilah! Bahahasanya keluarmu darimu kumpul dan bertambahnya manmu adalah ujung Jama’ (kumpul) denagnnya (wahdaniyah?) agar Maha Benar (al-haq) menguasaimu. Hal itulah yang dimaksud dengan hadis: “aku adalah pendengaranya yang dia dapat mendengar dengannya, penglihatanya yang dia dapat melihat dengannya” [4]. Dan siapa yang tidak dapat memperolehnya (wahdaniyah?i), niscaya keyakinannya tidak sempurna. Dan dia terbujuk berhenti pada ibadahnya dan pandangannya terhadap Makomat (makom-makom) dan Mukasyafat (keterbukaan gaib), tertawan oleh semua itu karena kecintaanya pada hal itu (Makomat dan Mukasyafat) sebagaimana Syekh Ruslan memberi isyarat pada hal itu (cinta Makom dan Kasyaf) dengan ungkapanya:
Wahai tahanan nafsu-syahwat dan ibadat! Wahai tahanan makomat dan mukasyafat! Kamu tertipu dalam sesuatu yang telah dijatuhkan (diciptakan) oleh angan dan hayalan, kamu sibuk, dalam naskah yang lain: disibukan, dengan dirimu (sehingga jauh) dari-NYA Yang Maha Tinggi. Dimana kamu sibuk dengan-NYA (dan) jauh dari dirimu serta keadaanmu (sebagai) tawanan selain Allah Ta’ala? Setiap orang yang mencintai sesuatu maka dia adalah tawanannya, dalam dekat, terhenti bersama nafsu-syahwat. Ini adalah keadaan sikap para pelupa. Banyak orang terhenti bersama ibadah. Ini adalah keadaan sikap sebagian para ahli muamalah (Ahli Amal). Banyak orang yang terhenti bersama makom. Ini adalah keadaan sikap sebagian Ahli (hlm. 3) Irodah. Banyak orang terhenti bersama Kasyaf (terbukanya Ilmu Gaib). Ini adalah keadaan sikap Ahli Taraki (naik). Banyak orang terhenti besama Allah Ta’ala, tenggelam dengan-NYA, jauh dari selain-NYA. Ini adalah keadaan sikap Ahli Inayat (Ahli Pertolongan Allah).
Dan DIA, dan dalam naskah yang lain: DIA (tanpa dan), Yang Maha Mulia dan Agung (senantiasa) hadir bersama kita dengan ilmu-NYA, dan melihat kepada kita dengan hukum-NYA. DIA bersama kamu semua dengan ilmu, kuasa, dan pertolongan-NYA, dimanapun kamu berada di dunia dan akhirat. Ketika kamu mengenal-NYA seperti itu, niscaya kamu mengerti bahwahasanya DIA bersamamu dalam sirmu (samarmu) dan jelasmu (‘alan / bersama yang lain). Maka jadilah kamu, dirimu, bersama-NYA dengan ketenggelamanmu dalam Tauhid. Karena sesungguhnya dirimu ketika ada bersama-NYA seperti itu (tenggelam dalam samudera Tauhid), niscaya Allah Ta’ala mendindingimu dari (nafsu) mu. Yakni menjauhkanmu dari penglihatanmu terhadap nafsumu. Lalu kamu terselamatkan dari syirik samar syirik Khofi). Keadaan ini dinamakan fana (sirna / hilang) dalam Tauhid dan juga dinamakan halatul jam’i (al-jama / kumpul bersama Allah Ta’ala).
Ketika kamu bersama (dirimu) mu karena ketidak tengelamanmu (dalam samudera tauhid), niscaya Allah Ta’ala perhamba kamu bagi-NYA. Yakni Allah Ta’ala jadikan kamu penyembah-NYA, lalu Allah Ta’ala mewajibkanmu beribadah pada-NYA. Inilah keadaan sikap al-faroq (pisah) sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, dan dalam keadaan itu hamba dikembalikan kepada peribadatan-NYA dan kewajiban lainnya.
Iman yang sempurna itu keluarmu dari-NYA Ta’ala dengan gambaran bahwa kamu tidak bersekutu dalam sesutupun dari sifat-sifat yang terkhusus bagi-NYA. Dan yakin itu keluarmu dari (diri) mu, yakni reka, daya, dan wujudmu dalam kediaman kelemahan dan kekalahanmu. Ketika keimananmu bertambah dengan keluar dari aghyar (selain Allah Ta’ala) maka kamu berpindah dari satu keadaan kepada keadaan lain. Yaitu dari kelemahan kepada kekuatan hingga sempurna keimananmu. Ia adalah yakin, dan ketika yakinmu sempurna maka yang samar (ghuyub) menjadi jelas bagimu lalu menghasilkan Iman Sempurna.
Ketika bertambah, dalam naskah yang lain: menguat, imanmu dengan keluarmu darimu dan dari segala yang selain Allah Ta’ala (aghyar), niscaya kamu berpindah dari satu makom kepada makom lain, yakni dari Makrifat (kenal) kepada Kasyaf (terbuka), dari Kasyaf (terbuka) kepada Musyahadat (nyata), dari Musyahadat (nyata) kepada Muayanat (jelas), dari Muayanat (jelas) kepada Itishol (tertaut), dari Itishol (tertaut) kepada Fana (sirna), (hlm. 4) dari Fana (sirna) kepada Baka (abadi), dan makom-makom lain yang (hanya) dikenal oleh ahlinya.
Dan ketahuilah bahwahasanya syari’at itu bagi mereka, yaitu seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala, tarekat, yaitu kamu menuju padanya dengan ilmu dan amal, dan hakikat, yaitu intisari dari keduanya (syariat dan hakikat), yakni kamu menyaksikan-NYA dengan cahaya yang telah Allah Ta’ala lilmpahkan dalam relung hati. Dan sesungguhnya bagi setiap batin punya dohir baginya dan sebaliknya (setiap dohir punya batin). Syari’at adalah dohir hakikat. Hakikat adalah batin syari’at. Syari’at dan hakikat itu bertautan makna. Syai’at tanpa hakikat itu hampa. Hakikat tanpa syari’at itu batal. Perumpamaan ketiganya bagaikan Pala (Kelapa). Maka syari’at itu seperti kulit yang tampak. Tarekat itu seperti isi yang sama tertutup kulit. Hakikat itu laksana minyak yang berada didalam isi. Seseorang tidak akan mendapatkan (samapai) isi sebelum mengoyak (menyobek)kulit. Tidak sampai kepada minyak sebelum melumatkan isi.
Makhluk (manusia) itu terbagi tiga kategaori; lemah, sehat, dan kuat. Yaitu awam (umum), yaitu para mukmin, khowas (khusus), yaitu para wali, dan khowasul khowas (sangat khusus), yaitu para nabi, bagi mereka sholawat dan salam Allah Ta’ala. Dan Syekh Ruslan meruntutkanya dengan ungkapannya: Syari’at, dalam naskah yang lain: Maka syari’at itu untukmu wahai para lemah hingga kamu mencari-NYA ta’ala dari-NYA untukmu dengan cara kamu mencari-NYA dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Jika tidak, maka syari’at itu atasmu bukan untukmu. Hakikat itu bagi-NYA ta’ala hingga kamu mencari-NYA ta’ala dengan-NYA untuk-NYA azza wajalla, bukan denganmu untuk-NYA dan bukan dengan-NYA untukmu. Sehingga tak terwaktu, dalam naskah yang lain: tak terbatas, dan bukan dimana (tak bertempat). Maka syari’at karena adanya itu perintah dengan amal-amal yang baku baginya itu punya batasan, sebagaimana sholat dua rakaat atau tiga, dan arah, seperti adanya sholat itu fardlu, sunah, terwaktu, atau tanpa waktu. Hakikat itu tak terbatas dan tidak ada arah baginya, karena hakikat itu ‘tirai maknawi’ dan karena yang mendirikannya adalah orang yang mengerti Allah (al-‘arif billahi) yang telah melewati batas-batas (bagian-bagian) kemanusiaan. Karena dia berada dalam Makom Jama (Makom Bersama Allah), dan dia selamanya mencari mencari Allah dengan Allah untuk Allah.  Maka yang dicariya tak terbatas karennya (tak terbatas itu adalah) hak Maha Disembah dan (hlm. 5) yang dicari oleh ‘pendiri syari’at’  (para kaum syari’at / orang yang menjalankan syari’at) itu terbatas.
Orang yang berdiri dengan syari’at, dalam naskah yang lain: beserta syari’at, saja, yakni tanpa hakikat, Allah Ta’ala berikan kelebihan padanya dengan Mujahadah (bersungguh-sungguh), yaitu menjalankan ibadah dohir dan dengan ubudiyah bathin. Ibadah itu untuk raga karena ibadah dohir adanya, dan ubudiyah itu untuk hati karena batin adanya.  
Orang yang berdiri dengan hakikat, dalam naskah yang lain: beserta hakikat, Allah Ta’ala berikan kelebihan padanya dengan pemberian, yakni nikmat, atau nikmat yang berat menurut pendapat lain. Yang dimaksud dengan nikmat itu adalah Ilmu Laduni Nurani yang telah Allah Ta’ala ajarkan pada awah sewaktu (dahulu kala di Zaman Azali) Allah Ta’ala menanyai mereka denga Firman-NYA: “Apakah aku bukan Tuhanmu?”[5] dan apa yang telah diisyaratkan dalam Firman-NYA: “Allah telah mengajarkan kepada Adam semua nama-nama” hanya saja hal itu terjadi di Alam Arwah (yang kemudian) tertutup dengan) gegelapan Alam Wujud (setelah lahir ke dunia), dan tersibukan dengan perwatakan. Ketika kegelapan itu hilang dengan pertolongan Allah Ta’ala, niscaya Ilmu Laduni itu nampak kembali. Hal itu adalah maksud dari hadis: “Siapa yang beramal dengan ilmunya, niscaya Allah Ta’ala mewarikan padanya ilmu yang belum pernah dia pelajari” dengan membuka (kasyaf) dari hatinya tutup (kegelapan) itu. Lalu dia berpaling dari seluruh makhluk hingga surga (tak diminatinay). Orang ini (Ahli Hakikat) mendirikan hak-hak rububiyah, dan orang itu (Ahli Syari’at dan Tarekat) denagn hak-hak ibadah dan ubuduyah.
Sangat jauh perbedaan antara Mujahadah (bersungguh-sungguh) dan Minah (limpahan anugerah). Sangat jauh perbedaan antara orang yang dibukakan (futuh) dengan Mujahadah tanpa kasyaf (terkuak) dan syuhud (nyata) dalam Mahal Faroq (tempat perpisahan dengan Allah Ta’ala), dan orang yang dikuakan (kasyaf) dari sir ilahiyah (Rasa Ketuhanan). Maka dia syuhud (menyaksikan) makna Jama (kebersamaan dengan Allah Ta’ala) dengan sangat lekat. Kedua makom Faroq (berpisah) dan Jama (bersama) itu di tuntut dan di cari. Hanya saja, semberono dari makom awal adalah sunyi dari makom kedua adalah terpedaya dan rusak, sebagaimana yang telah dijelaskan (diisyaratkan) tentang kedua makom tersebut. (hlm. 6)
Orang yang berdiri beserta Mujahadah karena dia melihat amal syari’atnya itu ada dengan (pertolongan) Allah Ta’ala, orang yang berdiri beserta beserta Minah (limpahan anugerah) karenanya mendirikan hak-hak rububiyah (Ketuhanan), tidak melihat amal perbuatanya, itu sirna dari selain Allah Ta’ala karena kefanaanya dengan tenggelam dengan Allah Ta’ala.
Amal-amal yang berhubungan dengan kesempurnaan dzat hamba yang lahiriyah seperti Dua Kalimah Syahadat, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Romadhon, haji, dan jihad itu berhubungan dengan (hokum) syara yang mulia, karena Syara (agama) datang dengan ketetapan (syari’at) itu. Tawakal dan sejenisnya dar sesuatu yang berhubungan dengan kesempurnaan dzat batin seperti Zuhud (benci dunia), wara’ (teliti dunia), sabar, khauf (takut siksa), dan roja (berhrap pada Allah) itu berhubungan dengan iman bahwahasanya Allah Ta’ala Maha Pencipta segala yang dikehendaki-NYA. Tawakal itu berpegang teguh pada Allah Ta’ala dan memutuskan pandangan terhadap segala sebab beserta ketersediaannya. Ada pendapat: Tawakal itu meninggalkan usaha yang biasa dijalankan oleh kekuatan manusia. Pendapat itu dibantah: Tawakal itu bukan begitu, seperti yang telah aku jelaskan, berikut kaidah-kaidahnya, dalam Syarah Risalah Syekh Abu Qosim Al-Qusyairi .
Tauhid yaitu ketetapan dan pengetahuanmu terhadap sifat Wahdaniyah Allah Ta’ala itu berhubungan dengan Kasyaf (tebuka). Yakni Allah Ta’ala membuka penutup matahati hamba dari tutup hakikat penghalang alam wujud (kainat) dengan sirna dari semuanya dan melihatnya masuk tergulung dalam ‘cahaya agung ketuhanan’ (nur adhomah robaniyah). Kasyaf itu ada tiga macam; Kasyaf Nafsi (teruka diri), Kasyaf Qolbi (terbuka hati), dan Kasyaf Siri (terbuka rasa). Pembagian kasyaf itulah yang dimaksud dengan ungkapan Syekh Ruslan. Beliau menyebutkan bagian pertama dengan sebutan Ilmul Yaqin, bagian kedua dengan sebutan Ainal Yaqin, dan bagian ketiga dengan sebutan Haul Haul Yaqin. Ketiganya adalah ilmu karena ketiganya bagian dari ilmu, karena ilmu beriktibar (melihat) apa yang diketahuinya. Jika berhubungan dengan dzat lahir maka (dinamakan) Ilmul Yakin, dengan dzat batin maka Ainal Yakin, atau dengan Hak Ta’ala (Allah Ta’ala) maka Hakul (hlm. 7) Yakin.  (bersambung II)